Cangkok hati bisa dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien penderita penyakit hati akut. Ahli hati dari Klinik Hati Jakarta, Prof Ali Sulaiman, menjelaskan, pada golongan penyakit hati akut, penderita datang dengan keluhan dan gejala nyata secara tiba-tiba.
”Mereka umumnya tidak mengeluh suatu apa pun,” ujarnya dalam pidato purnabaktinya sebagai guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu. Ketika terserang penyakit itu secara mendadak, penderita merasa lesu, sangat capek sampai tak bertenaga, ingin tiduran saja.
Keluhan ini sering dibarengi rasa mual, tidak nafsu makan, demam ringan mirip gejala flu, disertai gejala kuning pada mata dan kulit. Beruntung, penyakit hepatitis akut umumnya bisa disembuhkan.
Sementara pada kelompok penyakit hati menahun atau kronik, serangan penyakit datangnya perlahan-lahan sampai sangat sering tidak dikenali. Penderita baru tahu dirinya sakit secara kebetulan ketika memeriksakan darah untuk berbagai keperluan, di antaranya melamar pekerjaan dan mau jadi donor darah.
Kejadian proses kronik dari hepatitis akut pada hepatitis B sangat bergantung pada waktu terjadi infeksi. Kalau terinfeksi saat bayi, diperkirakan proses terjadi menahun pada lebih dari 95 persen. Jika infeksi terjadi saat usia balita, kejadian kronik 20-30 persen, dan pada usia dewasa 5-10 persen. Sedangkan infeksi hepatitis C pada semua umur akan diikuti proses kronik lebih dari 75 persen.
Sekitar 20 juta warga Indonesia terkena penyakit hati menahun. Perhitungan prevalensi penderita infeksi hepatitis B di Indonesia 5-10 persen dan hepatitis C 2-3 persen. Sedangkan hepatitis menahun (bukan B atau C) 10-20 persen. Sebanyak 20-40 persen dari 20 juta penduduk Indonesia penderita hepatitis menahun akan jadi sirosis (pengerutan hati) sekitar 15 tahun, tergantung berapa lama seseorang terserang virus itu.
Pada tahap awal, sirosis hati belum ada komplikasi. Jika tidak diobati, penderita akan masuk tahap sirosis dengan komplikasi seperti asites (cairan dalam rongga perut), kuning, dan kanker hati. Perjalanan dari sirosis tanpa komplikasi (kompensasi) ke sirosis dengan komplikasi (dekompensasi) bisa lebih dari lima tahun, tergantung sejumlah faktor seperti jender, usia, penggunaan alkohol, ada penyakit penyerta. ”Jika sudah tahap dekompensasi, ini indikasi untuk cangkok hati,” kata Ali Sulaiman.
Teknik transplantasi
Transplantasi atau cangkok hati pertama kali dilakukan tahun 1963 oleh tim dokter bedah pimpinan Dr Thomas Starzl dari Denver, Colorado, Amerika Serikat. Starzl melakukan sejumlah operasi lanjutan dalam beberapa tahun berikutnya sebelum keberhasilan operasinya yang pertama pada tahun 1967 meski hanya dalam waktu singkat, yaitu bertahan setahun pascatransplantasi.
Hingga tahun 1970-an, operasi cangkok hati masih bersifat eksperimen dengan survival satu tahun dalam 25 persen. Baru setelah digunakan siklosforin oleh Sir Roy Calne dari Inggris, perbaikan dramatis terjadi dan tahun 1980-an transplantasi hati diterima sebagai pengobatan standar klinik.
Kini, cangkok hati telah diterima sebagai pengobatan definitif penyakit hati stadium akhir, gagal hati akut dan kanker hati. Sebelumnya, pengobatan penderita sirosis hati dekompensasi hanya bersifat suportif, dengan angka harapan hidup lebih dari satu tahun hanya sekitar 10 persen. Dengan cangkok hati, harapan hidup lima tahun pada penderita bisa dicapai 60-70 persen, bahkan ada yang bertahan lebih dari 32 tahun.
Teknik cangkok yang sering digunakan adalah transplantasi ortotopik. Dengan cara, hati penderita diambil, diganti hati sehat dari donor kadaver yang ditempatkan di lokasi sama dengan anatomi hati yang sakit sebelumnya. Setelah cangkok hati, kualitas hidup pasien bisa ditingkatkan.
Perbaikan nyata dalam teknik operasi ini membuat pusat transplantasi hati bermunculan di mana-mana, di antaranya Amerika, Eropa, Australia, India, Singapura, dan China. Menurut Ali, pada tahun 2002, di Amerika Serikat saja terdapat 125 pusat transplantasi hati dan setiap tahun lebih dari 5.000 cangkok hati dikerjakan. Sampai Agustus tahun 2003, sebanyak 17.696 orang masuk dalam daftar tunggu.
Tantangan umum transplantasi hati adalah makin besarnya jurang antara jumlah donor tersedia dan banyaknya penderita calon transplantasi yang menunggu, penanganan kasus kekambuhan setelah transplantasi hati, terutama hepatitis C. Isu sangat penting di masa depan terpusat pada penggunaan efektif donor kadaver.
Saat ini angka kematian calon penerima transplantasi hati lebih banyak terjadi dalam masa penungguan dibandingkan dengan angka kematian yang terjadi pascatransplantasi selama kurun waktu satu tahun. Hal itu merangsang timbulnya inovasi baru untuk memaksimalkan penggunaan organ donor.
Pada penderita anak atau dewasa kecil kini telah dikembangkan prosedur baru. Prinsipnya, sebagian hati, yang sistem percabangan pembuluh darah, saluran empedu, sistem pengaliran venanya dengan sel-sel hati yang baik dianggap masih dapat menjalankan fungsinya dengan baik sebagai seluruh organ, tetap dipertahankan. Untuk mengatasi kekurangan donor pediatrik (anak-anak), pada tahun 1984 dilakukan transplantasi dengan mengurangi ukuran besar donor hatinya (reduced sized liver donor, cadaver split-liver) dan juga dikembangkan split liver transplantation (SLT). Selanjutnya, para dokter mengupayakan donor hati hidup (living donor transplantation).
Cangkok hati dengan donor hidup itu dimulai sejak tahun 1997. Transplantasi dilakukan dengan memakai donor hati lobus kanan yang diberikan pada penderita. Cara ini pada orang dewasa masih kontroversial, teknik itu sudah dilakukan sekitar 5 persen dari transplantasi pada orang dewasa.
Tahun 1989, operasi transplantasi hati pertama dari donor hidup dilaksanakan, dan hasilnya sama dengan transplantasi dari donor kadaver. Ada sejumlah keuntungan penggunaan donor hidup, di antaranya seleksi donor lebih ideal, perencanaan program lebih saksama secara efektif, masa persiapan resipien yang lebih maksimal. ”Namun, masalah yang penting adalah keamanan donor,” ujar Ali.
Transplantasi donor hidup (LDLT) berkembang pesat dalam dekade terakhir sebagai pilihan kritis bagi penderita sirosis hati atau hepatoma. Semula LDLT dilakukan pada anak penderita penyakit hati berat yang mendapat donor dari orang tuanya. Kesuksesan teknik ini pertama kali dikemukakan dr Silvao Raia dari Fakultas Kedokteran Universitas Sao Paulo pada tahun 1986.
Pusat Penyakit dan Transplantasi Hati Asia yang bertempat di Rumah Sakit Gleneagles, Singapura, misalnya, hingga kini telah melakukan seratus tindakan cangkok hati dari donor hidup. Menurut Konsultan Transplantasi Hepatologi dan Gastroenterologi dari Pusat Rumah Sakit Gleneagles Singapura Dr Wai Chun Tao, cangkok hati dengan donor hidup ini dikembangkan berdasarkan daya regenerasi sel hati yang luar biasa.
”Dalam beberapa bulan pascatransplantasi, volume organ hati donor mulai bertambah. Satu tahun pascaoperasi, hati akan kembali ke ukuran semula dan bisa berfungsi normal,” kata Wai Chun Tao.
Pendonor diupayakan merupakan kerabat atau orang yang memiliki ikatan emosional kuat dengan penderita karena pihak pendonor berisiko mengalami komplikasi pascatransplantasi.
Di Singapura, cangkok hati harus mendapat persetujuan dari otoritas kesehatan setempat dan bukan hasil perdagangan organ. ”Tingkat keberhasilannya baru mencapai 85 persen,” ujarnya.
Selain itu, cangkok hati merupakan operasi besar dengan tingkat kesulitan tinggi dengan risiko kambuhan pada penyakit yang diderita sebelumnya. Meski demikian, di tengah ketidakpastian penantian adanya donor, cangkok hati dari donor hidup memberi harapan hidup lebih besar bagi penderita sirosis hati. Setidaknya, keinginan bisa kembali beraktivitas secara normal bukan lagi impian.
Kamis, Mei 01, 2008
Apabila Cangkok Hati Dilakukan
Label:
Masalah Kesehatan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar